Senin, 15 Maret 2010

BAB 6

“Bang, aku laper. Makan dulu yuk!” ajak Rashia kepada abangnya. Mereka baru saja keluar dari teater.
“Oke..” kata Reza.
“Chicken cordon bleu, sama ice cappucino-nya ya, Mbak!” kata Rashia sambil memesan. ketika mereka telah mendudukki sebuah restoran.
“Cicken cordon bleu nya pake kentang atau nasi, Mbak?” tanya pelayannya.
“Kentang aja deh, Mbak.” jawab Rashia.
“Ada lagi yang mau dipesan?” tanya petugas itu lagi.
“Emm, Bang, mau pesen gak?” tanya Rashia membuyarkan lamunan Reza yang dari tadi diem dan menunduk terus. Gak tau deh tuh anak ngelamunin apa.
“HEH?” tanya Reza kaget.
“Kok kaget gitu sih, Bang? Abang mau mesen apa?” tanya Rashia lagi.
“Es teh manis aja deh satu.” kata Reza dan menatap petugasnya.
Petugas itu kaget melihat wajah Reza, “Reza?”
“Anya?” tanya Reza.
“Lo ngapa.. ehm.. eh, ini Rashia ya? Adik lo yang sering lo ceritain?” tanya Anya malu-malu. Lho, kenapa mukanya merah gitu? Tanya Rashia dalam hati.
“Iya, adik gue.” kata Reza dengan mimik yang selama ini tidak pernah Rashia lihat.
Rashia heran. Sebenernya pelayan ini siapa? Orang pentingkah buat Reza? Atau cuman temennya Reza? Tapi kalo sama temen ceweknya, mimik muka Reza gak kayak gitu. Anya siapa sih? Atau jangan-jangan Anya.... “Abang kenal?” tanya Rashia spontan.
“Iya, temen aku, Sya.” kata Reza.
“Iya, aku temennya Reza. Anya.” kata Anya sambil mengulurkan tangannya.
“Oh, aku Rashia.” kata Rashia membalas uluran tangan itu sambil tersenyum.
“Kamu mirip banget ya, sama Reza.” kata Anya.
“Hehehe.” Rashia cengengesan.
“Oh, emm, gue bikinin pesanan kalian dulu, ya, Rez. Oh iya, seneng kenalan sama kamu, Rashia.” kata Anya sambil tersenyum.
“Seneng juga ketemu sama Kak Anya.” kata Rashia sambil tersenyum juga. Cewek baik. Batin Rashia.
Reza masih terdiam dalam senyumannya.
“Baik, cantik lagi. Temen abang?” tanya Rashia.
“Iya. Cantik, ya? Padahal dia kan bisa jadi artis. Aktingnya aja keren. Tapi dia malah pengen kerja di sini. Katanya dia gak begitu tertarik jadi artis. Sayang banget. Tapi emang sih, orangnya rendah diri banget. Baik banget. Cantik lagi. Perfect. Ya gak, Sya?” tanya Reza sambil menoleh ke adiknya.
Rashia menahan tawanya, “Abang suka?” tanya Rashia.
“Heh? Suka? Gak.. gak mungkin lah, Sya.” kata Reza. Ah, gak suka tapi wajahnya merah gitu. Boong banget nih Reza.
“Ah masaa? Mukanya abang udah merah kayak gitu, masa gak suka?” goda Rashia.
“Terserah kamu deh, ya.” kata Reza pasrah.
“Berdoa aja bang, semoga yang nganterin pesenan kita, Kak Anya lagi. Hahaha.” kata Rashia sambil tertawa.
“Apa sih, Sya? Diem aja deeh.” kata Reza malu-malu.
“Waaah, abang jatuh cinta.” goda Rashia lagi.
“Enggak.” Elak Reza.
“Iya.”
“Enggak.”
“Iya,”
“Enggak.”
“Iya.”
“Rashia?” tanya sebuah suara asing. Gak asing sih bagi Rashia. Kayaknya dia kenal suara ini deh. Siapa? OH!
“Aldi? Revan?” kata Rashia sambil melihat Aldi dan Revan yang sudah duduk daritadi di sebelah meja Rashia dan Reza.
“Wah, kebetulan banget ya, kita ketemu di sini!” kata Aldi.
“Iya ya.. hehe.” kata Rashia. Mukanya memerah. Bukan karena Aldi. Tapi karena ada Revan di situ.
“Cowok lo, Sya?” Tanya Revan tiba-tiba. Mukanya jadi kayak jutek gitu. Kenapa ya? Cemburu? Ah, gak mungkin. Ini mah paling gue aja yang ke-GR-an. Pikir Rashia.
“Bukan. Kakak gue.” jawab Rashia singkat.
“Oh, gitu. Gue kira cowok lo.” kata Revan.
“EHM.” Reza berdehem. Dia merasa dikacangin.
“Oh iya, Aldi, Revan, ini abang gue. Namanya Vareza Yudhistira. Panggil aja Bang Reza.” kata Rashia memperkenalkan abangnya kepada dua orang temannya itu.
“Reza.” kata Reza sambil bersalaman dengan Revan
“Revan.” kata Revan.
“Reza.” kata Reza lagi, sambil bersalaman dengan Aldi.
“Aldi.” kata Aldi singkat.
“Jadi, di sini siapa yang cowoknya Rashia?” tanya Reza langsung. Gile ya ini abang, menjaga adiknya banget gitu deh.
“Gak ada kok, Bang. Kita cuman temenan aja.” jawab Revan.
“Iya, tapi kalo di sekolah banyak banget, Bang, yang naksir Rashia. Abang harus bersyukur tuh punya adik kayak Rashia.” jelas Aldi.
“Oh gitu yaa.. terus Rashia sama cowok, deket sama siapa?” tanya Reza.
“Gak tau tuh, Bang. Kita berdua juga baru kenal sama Rashia kok.” kata Revan.
“Iya, Bang.” Kata Aldi manggut-manggut.
“Oh.. gitu.” kata Reza.
“Lagian temen-temen deket cowok aku beda SMA semua bang sama aku.” kata Rashia melengkapi.
“Oh begitu.. Kalian gabung aja yuk di sini! Satuin aja mejanya.” ajak Reza.
“Boleh juga tuh, Bang.” kata Aldi.
Setelah menyatukkan meja, pesanan Rashia dan Reza-pun datang.
“Wah.. Kak Anya lagi lho, Bang.” kata Rashia pelan kepada abangnya, ketika Anya sudah mulai berjalan mendekat ke meja mereka.
“Apa sih kamu?” kata Reza mulai sebel lagi digodain sama adiknya.
“Ini dia pesanannya. Chicken cordon bleu, ice cappucini, dan es teh manis.” kata Anya mengantarkan seluruh pesanan Rashia dan Reza.
“Makasih ya, Kak Anya.” kata Rashia.
“Oh iya, kalian kan belom mesen, mau mesen gak?” tanya Reza.
“Iya juga ya, ya udah deh, Mbak, saya pesen Nasi goreng special, sama Orange Float. Van, mau mesen gak?” tanya Aldi setelah menyebutkan pesanannya.
“Boleh deh, Sphagetti Bolognaise sama Green Tea yang anget ya, Mbak!” kata Revan.
“Oke.” kata Anya. “Em, Rez, bisa ngomong sesuatu gak, sama lo?” tanya Anya sebelum pergi.
“Boleh. Apaan?” tanya Reza.
“Lo ikut gue, yuk!” kata Anya.
Reza berdiri dan mengikuti Anya ke arah dapur. Setelah itu mereka masuk ke ruang office, dan menutup pintu.
“Abang lo kenal sama pelayan itu, Sya?” tanya Aldi.
“Kenal. Kayaknya sih mereka saling suka, deh.” kata Rashia sambil memakan Cordon Bleu-nya.
“Emm.. gitu.” kata Aldi.
“Abang lo mirip ya, Sya sama lo.” kata Revan.
“Iya, memang. Banyak orang yang ngira, gue sama Bang Reza kembar. Padahal umur kita aja bedanya lumayan jauh.” kata Rashia.
“Emang beda berapa tahun?” tanya Revan lagi
“Tujuh apa delapan gitulah. Tapi pada ngira kembar. Aneh banget kan? Muka gue yang ketuaan kali yaaa.. haha.” kata Rashia.
“Ah, gak kok. Lo kan cantik, Sya. Masa ketuaan? Abang lo aja yang mukanya kemudaan.” kata Revan.
Deg. Jantung Rashia serasa berhenti berdetak. Cantik? Revan bilang gue cantik? Gak salah nih? Gue lagi mimpi ya? Batin Rashia.
“Ekhem. Kok diem?” tanya Aldi.
“Gak papa ko.” kata Rashia sok tenang. Padahal dia degdegan setengah mati.
Gak lama kemudian, Reza dateng.
“Ngapain aja, Bang? Ngobrol apa aja?” tanya Rashia yang penasaran.
“Itu, dia tadi curhat. Adiknya divonis kanker.” kata Reza yang wajahnya ikut-ikutan sayu.
“Hah? Kok tadi keliatannya ceria-ceria aja sih mukanya?” tanya Revan yang ikut menyimak pembicaraan Rashia dan Reza.
“Dia emang gitu. Kalo sedih asti mukanya tetep ceria. Tetep senyum, tetep.. cantik.” kata Reza sambil membayangkan kecantikkan Anya.
“Terus tadi dia cerita apa aja, Bang? Kok ceritanya ke Abang sih?” tanya Rashia lagi.
“Dia emang kalo cerita sama Abang, Sya. Tadi dia cerita sambil nangis. Abang jadi pengen meluk. Kasian banget.” kata Reza.
“Oooh gitu. Terus gimana? Adiknya bisa sembuh gak, bang?” tanya Aldi yang penasaran juga.
“Adiknya Kanker Darah. Udah stadium tiga. Jadi, Anya sama keluarganya baru tau kalo adiknya itu Kanker pas kankernya udah parah. Kemungkinan sih gak ada harapan. Kata dokternya, tinggal nunggu.” kata Reza sedih.
“Ya ampun. Terus mereka ada biayanya gak, Bang?” tanya Rashia.
“Ada lah.. Anya itu gak miskin lho, Sya. Sebenernya yang punya restoran ini, berserta cabang-cabangnya di kota lain, itu keluarga Anya.” kata Reza.
“HAH? Berarti Kak Anya orang kaya dong? Restoran ini kan terkenal banget!” kata Rashia.
“Iya, memang.” kata Reza.
“Terus, ngapain dia kerja di sini? Jadi pelayan, lagi.” kata Revan.
“Anya emang gitu. Dia pengen ngerasain kerja sendiri. Jadi biar agak santai, dia kerja di restoran punya keluarganya sendiri dulu. Padahal gak usah kerja juga, duitnya segunung, kali.” kata Reza.
“Kasian banget ya adiknya Kak Anya. Kasian juga Kak Anya-nya.” kata Rashia. Ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Anya.
“Itu emang udah jadi takdirnya, Sya.” kata Revan sambil menggenggam jemari Rashia yang duduk di sebelahnya.
Deg. Lagi-lagi jantung Rashia kayak mau copot.
“I.. iya kali ya, Van.” kata Rashia grogi. Revan pun melepaskan genggaman tangannya.
Aldi yang melihat adegan itu menahan senyum. Akhirnya Revan berani juga kayak gitu ke cewek. Batin Aldi.

*****

“Jadi, di antara mereka berdua, siapa yang kamu suka?” tanya Reza di dalam mobil, saat perjalanan pulang.
“Hah? Gak ada. Masa baru kenal langsung suka sih? Ah gimana deeh.” kata Rashia mengelak.
“Halah.. dari tadi muka kamu merah terus pas makan. Berarti ada yang ditaksir, kan?” tanya Reza sambil menoleh sekilas ke arah adiknya.
“Enggak. Yeeee.. abang sotoy ah!” kata Rashia malu-malu.
“Rashia.. udah deh sayangku cintaku.. ngaku aja sama Abang.” kata Reza.
“ENGGAK MAU. Lagian emang Rashia lagi gak naksir siapa-siapa kok Bang. Abang aja yang gak percayaan.” kata Rashia.
“Huwooo.. Ya Tuhan.. Akhirnya adikku jatuh cinta juga. Alhamdulillah.” kata Reza lebe.
“Siapa yang jatuh cinta coba? Yang ada Abang tuh lagi jatuh cinta sama Kak Anya!” kata Rashia.
“Udah deh, Sya. Jangan menglihkan pembicaraan.” kata Reza.
“Biarin. Abang gak sedih juga apa, ngeliat Kak Anya sedih?” tanya Rashia.
“Sedih banget kali, Sya. Tapi kan emang udah begitu takdirnya. Mau diapain lagi. Eh yang tadi megang tangan kamu siapa namanya?” tanya Reza.
“Abang liat?” tanya Rashia.
“HELLO.. Ya liat lah! Abang kan persis di depan kamu! Siapa namanya? Revan, ya? Ganteng tuh anak!” kata Reza.
“Hahaha. Tumben bilang cowok lain ganteng.” kata Rashia.
“Sekali-kali muji calon pacar adik sendiri, gak ada slaahnya.” kata Reza.
“Siapa coba ih? Siapa yang mau juga lagian sama Revan? HUEK.” kata Rashia.
“Halaaah.. udah deh, Sya. Abang gak bakalan bisa dibohongin sama kamu.” kata Reza sotoy.
“Terserah abang aja deh.” kata Rashia pasrah.
“Berarti kalo Abang mengasumsikan kamu suka sama Revan boleh, ya?” tanya Reza.
“ENGGAK. Apa sih, bang? Orang aku gak suka sama Revan.” kata Rashia sambil menatap ke jendela.
“Kan kata kamu terserah abang aja. Berarti apa yang abang bilang boleh. Kan terserah.” kata Reza.
“Iya juga sih.. tapi kecuali yang satu itu deh!” kata Rashia.
“Gak ada kecuali-kecualian..” kata Reza.
“Abang pengen ditendang ya haah?” kata Rashia sambil mencubit pipi abangnya.
“AWW.. itu mah dicubit bukan ditendang!” kata Reza.
“Kalo nendang susah.” kata Rashia.
“Woo. Udah ah! Lepasin cubitannya! Entar kecelakaan lho. Hiiy.. serem ah. Lepas cubitannya!” kata Reza.
“Oke oke oke.” kata Rashia melepas cubitannya.
Apa bener, gue suka sama Revan? batinnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar